Beragam rasa meluap dari dasar hati seiring langkah menjejak (kembali) di kaki Bukit Malahayati. Tanda waktu menunjukkan pk 15.30, lumayan cepat juga kami melaju dari Blang Padang hingga Krueng Raya. Hembusan angin mengiringi tarian helai kapas dari pucuk randu menyambut langkah di gerbang peristirahatan. Bergegas langkah dipacu meniti anak tangga untuk melepas rindu pada IBU di puncak bukit.

Kak Linda yang menemani kami ke bukit jelang sore itu terlihat shock karena dijumpa pertama sudah digeret-geret ke makam dan disodori itinerary yang ajaib. Sempat khawatir melihatnya menghentikan langkah dan mengatur deru napas saat baru menapak empat anak tangga. Meski rindu ini menggelora, saya menemaninya sesaat demi memastikan dirinya baik-baik saja.
“Kak Linda kuat naik tangga kan? “
“Kuat … kuat … “
“Pelan-pelan aja kak, undakannya cukup landai koq. Kalau capek bisa istirahat dulu”
“Iya, duluan Live .. nanti Kak Linda menyusul.”
Mendapat jawaban yang meyakinkan, langkah kembali dipacu menyusul Ibu yang sudah menggapai puncak bukit. Tak terpikirkan, hanya dalam kurun waktu tiga bulan langkah kembali menapak di tempat peristirahatan IBU yang dikelilingi pagar besi berwarna hijau.

“Assalamualaikum IBU, kami pulang.” Di depan pusara IBU, Laksamana Keumalahayati; kami duduk dalam diam menikmati setiap getaran hati yang menghantar rindu ke bukit. Doa dan asa dipanjatkan pada sang Khalik agar IBU beristirahat dengan tenang dan damai di sisiNya. Cukup lama berdiam dan bercengkerama dengan alam pikiran masing-masing.
Derit pintu pagar yang didorong perlahan membuat kami tersadar ada yang ketinggalan di belakang, Kak Linda. Rupanya dirinya mendapat sambutan “hangat” sejak memasuki pelataran bukit yang membuatnya urung mengikuti langkah cepat kami.
“Kenapa ya, badanku panas tapi hanya bagian kiri ini,” tutur Kak Linda sembari meremas-remas lengan kirinya.
Berdua kami berpandangan lalu bergantian melirik Kak Linda meski dalam diam segaris senyum di wajah menandakan pikiran kami sejalan. Aaaah IBU, kau sambut aneuk negeri dengan kehangatan yang menggelisahkan hatinya. Janganlah patahkan semangatnya yang baru disulut untuk melangkah ke tempat nan teduh ini.

Tak terasa tiga jam kami habiskan di atas bukit berbagi kisah sembari menikmati desahan angin senja yang mengalun lembut. Mengingat badan yang sudah lengket setelah perjalanan yang melelahkan dari Jakarta, kami pun pamit dan beranjak dari Bukit Malahayati menuju Banda Aceh.
Bukit Malahayati/ Kompleks Makam Malahayati
Bukit Kota Dalam, Jl Krueng Raya, Kec Aceh Besar
(100 meter dari seberang Pelabuhan Malahayati)
[Admin_PK]
Semoga IBU damai di sana ..
amiiiiin
Gambar yang pertama saya suka sekali… 🙂
makasih mbak Winda
setelah diperhatikan iya juga ya .. ada sesuatu di sana 😉
Beliau adalah “de leidster van het verzet” (pemimpin perlawanan) terhadap Kolonialismme dan dan salah satu dari grandes dames (wanita-wanita besar).
Tabik dan salam
salute
terima kasih telah meninggalkan jejak Tengkupateh
saleum