Senja di Tanah Merdeka

Senja perlahan turun di ufuk barat. Di ujung dermaga tiga bayang perempuan berdiri dalam gelisah memandang jauh ke laut lepas. Hmmm … dari belakang sosoknya seperti tak asing, dari bahasa tubuhnya kutebak mereka ibu dan anak.

Perlahan kudekap Yamaha yang lama terdiam dalam sepi. Membelai permukaan kulitnya dengan lembut, memetik dawainya dengan sepenuh rasa, mencoba resapi bait demi bait syair rindu tuk mereka yang pernah berjaya.

Teringatku kan padamu pahlawan Indonesia
Waktu kau hendak kembali ke alam yang baka

Terbayang roman mukamu yang suci dan berseri
Saat tiba kan menghadap ke hadirat Ilahi

Dendang lirih mengalun terbawa buaian angin pantai disahut riak gelombang. Tak peduli suara sumbang syair terus kulantunkan

Dengan tulus dan ikhlas kau korbankan jiwamu
Kau basahi bumi dengan darah ksatriamu

Merah putih masih berkibar
Merah putih masih berkibar di ujung senja

Darah yang dulu tertumpah tanpa tawar menawar, telah mengering di tanah ini,” gelegar suara dari ujung dermaga pecah bersama hempasan gelombang. Sontak tangan terdiam, bibir mengatup rapat. O maaaak, siapa perempuan itu, apa dendangku telah mengusik mereka?

Anakku, kita telah melawan hingga tetes peluh dan darah penghabisan. Jangan pernah sesali langkahmu. Kita sudah beri yang terbaik untuk negeri ini.

“Tapi Ibu, takkah kau lihat apa yang terjadi di depan mata? Sedih hati melihat kehidupan di negeri ini. Tak ada penghargaan sedikit pun untuk derap juang yang telah ditorehkan.” Tampak perempuan muda berikat kepala di depan sana berapi-api menyambut ucapan sang bunda. Aaah, jiwa muda yang berkobar.

Usi, kau dibesarkan di negeri timur yang terkenal keras, bukankah dari kecil kau telah belajar untuk tidak cengeng? Sabar, mungkin hanya itu yang bisa kita harap.”

Debat kecil diantara mereka terus berlanjut. Sang bunda tampak tak banyak berbicara sesekali suaranya bijak terdengar melerai perdebatan kedua putrinya. Mendadak perempuan berikat kepala berlari ke tepian dermaga, suaranya bersaing dengan debur ombak, tangannya menunjuk ke satu titik. “Hei Cut Nyak! lihat kapal perang di pelabuhan sana, bukankah itu namamu yang terpampang di atasnya? KRI Cut Nyak Dien!“.

Perempuan yang dipanggil Cut Nyak mengedar pandang ke arah yang ditunjuk, seulas senyum menghiasi bibirnya.

“Heiiiiiii, lihat di sana ada lagi. Ibuuuuuuu, sepertinya tulisan samar di atas kapal itu namamu … KRI Malahayati? sebentar aku lihat dengan seksama.Oh Ibu, benar itu namamu.”

“Eh Usiiiiii, itu namamu juga ada di kapal yang melaju ke barat. KRI Martha Kristina Tiyahahu. Hmmm … ada yang salah dengan namamu?” Cut Nyak menahan senyum geli memandangi Usi Ata yang melongo ke arah kapal yang ditunjuk saudaranya.

Sang bunda mendekat, merangkul kedua putrinya dengan rasa haru. Bergantian diciuminya kening keduanya.

Takkah kalian bersyukur dikenang dalam perjalanan sejarah negeri? Meski kobar semangat dan asa yang pernah terucap tak lagi dikenal oleh generasi bangsa. Meski nama dan jejak terkikis putaran masa. Percayalah kan datang satu masa, negeri ini kan bangkit. Hanya menunggu waktu temukan tunas yang kan teruskan langkah.”

Senja semakin merah, ketiga perempuan itu saling berpelukan. Sang bunda  tiada henti memompa semangat putrinya. Masih ingin bersama, namun putaran waktu mengajak langkah tuk kembali berpisah …. Seorang melangkah ke timur, yang seorang  lagi berjalan ke selatan. Dilepasnya sang putri dengan senyum hingga bayang mereka hilang dibalik senja.

Perempuan itu kini tinggal sendiri, terdiam di ujung dermaga. Ditengadahkannya wajahnya ke langit meminta restu Ilahi untuk sejumput harap di dada, damai dan tenteramnya negeri tercinta.

Perlahan, perempuan itu membalikkan badan, melangkah mendekat ke arahku … semakin dekat dan dekat hingga samar wajahnya menjadi jelas. ”IBU …,” suaraku tercekat di ujung lidah yang mendadak beku. IBU menatap teduh tenteramkan hati, seulas senyum tipis menghiasi bibirnya.

Keringat dingin mengucur di dahi, terpesona … lekat kupandangi wajahnya.

Berjuang tak sekedar memanggul senjata lalu maju ke medan perang,“suaranya lembut memecah senyap. Pandangnya penuh harap menyejukkan hati, senyum melebar di bibirnya kala kepala ini mendadak mengangguk kecil.

Menanti di ujung dermaga
Menanti di ujung dermaga

IBU mengayun langkah meninggalkanku yang masih terpana memeluk erat Yamaha di pangkuan. Perlahan jemari kembali melanjutkan tariannya, memetik dawai yang sempat terhenti … mengiring langkah IBU yang perlahan hilang ditelan masa.

Tak akan lenyap jasamu dari pada ingatan
Perjuangan kuteruskan sampai ke akhir zaman

Yaaaa, banyak cara bisa dilakukan untuk meneruskan jejak para pendahulu yang telah menorehkan semangat untuk bangun negeri. Duduk di ujung dermaga, kurenungkan pesan IBU.

Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini? – [Pramoedya Ananta Toer]

Goresan ini terinspirasi dari syair Kepada Temanku Pahlawan karya Abdul Saleh, salah satu lagu perjuangan yang sering dinyanyikan di depan kelas jaman SD. Serta perjalanan penuh sensasi menyusuri jejak Laksamana Keumalahayati, mengunjungi rumah Cut Nyak Dhien di Nanggroe dan menyusuri jejak Christina Martha Tijahahu di Negeri Cengkeh.

Selamat menyambut Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-68, jayalah negeriku. Mari melangkah bersama, bergandengan tangan berbagi jejak untuk negeri tercinta. Saleum [Admin_PK]

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s