Jarum jam di pergelangan tangan kanan menunjukkan pk 09.00 pagi. Dari dalam kedai khupi yang berada tepat di samping penginapan saya memperhatikan langit pagi yang tampak murung. Aaaah, semoga jelang siang mentari akan berseri sehingga perjalanan setengah hari ini bisa maksimal. Kutengok setengah gelas khupi itam masih tersisa untuk diseruput sembari menunggu Hadi sianakdesa yang katanya harus mengisi absen upacara bendera dulu di sekolah.
Dua jam duduk di sini pantat jadi panas juga. Beruntung si ibu penjaga kedai berbaik hati menemani ngobrol meski terkaget-kaget kenapa ada perempuan punya nyali yang begitu besar menjejak seorang diri di Nanggroe Aceh mencari kuburan? Perempuan yang dua hari ini mampir ke kedai saat malam semakin pekat dan nongkrong menikmati segelas khupi itam di pojokan kedai yang dipenuhi kepulan asap rokok dari para lelaki yang asik bermain catur sembari berbagi tawa hingga jelang pagi. Perempuan yang sudah menampakkan batang hidungnya karena perutnya meronta mencari sarapan kala pagi baru menggeliat dari balik peraduannya.

Sebenarnya Ari Buzzerbeezz menawarkan sepedanya untuk dipakai berkeliling. Namun mengingat siang hari langsung meluncur ke Sultan Iskandar Muda, bingung juga bagaimana mengembalikan tuh sepeda. Terpaksa tawaran menarik itu ditolak. Hadi muncul tepat saat isi gelas siap dituntaskan. Setelah salaman, kenalan, ngobrol basa-basi; saya mengajaknya bergegas ke Gampong Pande. Mendengar kata Gampong Pande, tampang Hadi tampak meringis lucu dipikirnya mau diajak ke negeri di antah berantah. “Itu dimana mbak?” *tepok jidat, pertanyaannya terbalik nih*
Kami mencapai Gampong Pande setelah dua kali bertanya kepada abang-abang di dekat pasar Aceh demi memastikan tidak salah arah. Lalu menunggu orang bengkel menyetrum aki mobil yang mogok gegara ‘ngerem mendadak karena belokan ke gampongnya terlewat. Beruntung berjumpa dengan abang becak yang berbaik hati menawarkan diri untuk memanggil orang bengkel di dekat jalan besar dengan menumpang ojek yang kebetulan lewat. Pfiiuuuhhh, perjalanan pagi yang sangat berwarna karena sempat deg-deg’an ditatap sekelompok satpol WH (= Wilayatul Hisbah) yang sedang patroli.

Aki menyala, kami kembali menyusuri jalanan kampung yang lebar dengan deretan rumah yang dipisahkan oleh pekarangan yang luas. Hmmm … pantes si Ari nawarin naik sepeda. Untuk sampai ke sini tinggal lurus-lurus aja dari Masjid Baiturrahman, nyusurin pasar ikutin petunjuk arah, dijamin sampai deh. Kalo kesasar tinggal tanya bukan?
Gampong Pande, dari sinilah sejarah Kerajaan Aceh Darussalam bermula. Saat Sultan Johansyah meletakkan tonggak kerajaan pada 1 Ramadhan 601 Hijriah atau 22 April 1205 dengan ibukota di Kutaraja (sekarang Banda Aceh) setelah menaklukkan Kerajaan Hindu/Budha Indra Purba.

IBU, Laksamana Keumalahayati menjadi Panglima Armada Selat Malaka semasa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat Syah Al-Mukammil (1589 – 1604) menggantikan Laksamana Mahmuddin bin Said Al Latief suaminya yang gugur dalam pertempuran di Selat Haru. Bukanlah suatu kebetulan jika Malahayati dipercaya oleh Sultan untuk menduduki pucuk pimpinan sebagai Laksamana setelah sebelumnya dirinya menjadi Komandan Protokol Kerajaan Aceh Darussalam. Darah bahari mengalir deras dalam tubuhnya diturunkan dari ayahnya, Laksamana Mahmud Syah, darah yang sama mengalir dari sang kakek, Muhammad Said Syah.
Muhammad Said Syah adalah putra Sultan Salahuddin Syah yang memerintah tahun 1530-1539. Nah, Sultan Salahhuddin Syah adalah putera Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada 8 September 1507; salah seorang pendiri kerajaan Aceh Darussalam. Seperti kita ketahui Kesultanan Aceh berdiri atas penyatuan kerajaan-kerajaan kecil yang menyebar di Aceh.


Masa-masa gemilang Kesultanan Aceh Darussalam tercapai semasa pemerintahan Sultan Alaidin Ali Mughayat Syah, Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Kahar dan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin. Namun puncak kegemilangannya adalah semasa berada dibawah pimpinan Sultan Alaidin Iskandar Muda Meukuta Alam atau dikenal dengan Sultan Iskandar Muda.
Tak banyak sumber yang bisa dikulik untuk mengetahui dengan jelas jejak-jejak berdirinya Aceh. Hal ini dikarenakan sebagian besar informasi yang tersebar saat ini diambil dari catatan para penulis barat seperti dari pedagang ataupun pengelana yang pernah menjejak di Nanggroe.
Di dalam kompleks Makam Tengku Di Kandang kami hanya berdiri bisu menatap satu persatu nisan yang ada. Tak ada informasi sedikit pun yang bisa diserap untuk mendapatkan jejak sejarah negeri ini. Siapa saja gerangan yang terbaring di sana? Papan informasi di kanan gerbang masuk tampak kosong melompong. Sebelum melangkah kembali ke kendaraan saya sempat membaca selintas tulisan pada penanda makam bahwa komplek ini di bawah naungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. [Admin_PK]
Kok Hari sih mbak? Hadi kan namanya?
eh iya, kenapa jadi Hari ya? hahaha
Jadi di nisannya tanpa nama ya Mbak ? gak ada kuncennya kah buat nanya2 ?
nggak ada bu, sama kayak sebagian besar makam di komplek pemakaman keluarga Panglima Polem
Reblogged this on My Passion.
dulu kami keliling aceh pake celana pendek n dipelototin gitu sama weha 😀
jadi ingat pengalaman waktu pertama kali pulang ke Aceh. habis dari Sabang masuk Banda Aceh malam2 gak sempat ganti celana jadi tetap dengan kostum seharian celana tiga perempat eh ditakuti2n sama kawan yg orang Aceh. jadi begitu sampai Peunayong masuk toko souvenir ngumpet hahaha
😀
waktu kami kesana sore2 gk ada yg pelototin, gak berani sih liat wajah saya yg gimana gitu…hahaha
hahahaha, bang Moersalijn lucu deh
eh abang sudah balik ke negeri Aria?
Masih di kampung ini untuk beberapa hari lagi 🙂
Wiih.. bagus artikelnya mbak. Saya yang asli Aceh aja nggak banyak tahu #malu..
Terima kasih sudah mampir, yuk berbagi bersama